Rutinitas sehari-hari yang sangat mudah ditebak akan kemana arahnya ini pada akhirnya hampir bisa terselesaikan. Paling tidak untuk akhir tahun ini :')
Sedikit lesu, sedikit kesal dengan bawaan pada hari ini tapi kalau dipikir ulang ini masih belum ada apa-apanya dibanding perjuanganku yang sudah lebih dari dua tahun ini, jadi aku kembali menatap tegak dan lurus ke depan menunggu lampu rambu itu berwarna hijau. Sore itu sangat ramai dan langit kekuningan. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, kalau saja tadi pulang lebih awal, kalau saja handphone ku tidak habis baterai, dan kalau saja tadi sempat sms atau telepon papa, mungkin sudah sampai rumah.
Oke, orang-orang disekitarku sudah bersiap-siap melewati separator busway. Well, apakah menunggu beberapa detik lagi akan membuatmu rugi waktu? Apakah lampu-lampu rambu lalu lintas itu masih kurang jelas, kenapa harus terburu-buru yang merugikan orang lain juga pada akhirnya.
Dengan langkah pasti aku melintas di penyebrangan. Entah perasaanku saja atau memang semua orang lain pun begitu, ojek-ojek memanggil dengan wajah penuh harap. Ya, bapak-bapak itu berharap, aku pun berharao salah satu dari penyebrang ada yang mengambil ojek, sehingga aku tidak terlalu merasa "kasian".
Agak malu mengakui ini, tapi sesekali lewat jalan seramai cililitan dengan lalu lintas yang selalu sesak, sedikit ada keraguan masa sih dari sekian banyak orang yg lewat tidak ada yang mengenalku. Aku jadi sedikit merasa malu, lalu kalau ada yang kenal mau buat apa, del? Anter sampai rumah?. Aku jadi berpikir ulang, kalau pun memang ada orang yang sekedar kenal, apa bener mau bareng atau diantar sampai rumah supaya gak perlu repot-repot jalan? NO. Mungkin kalau keadaan memaksa ya mungkin mau, dan mungkin kalau dulu-dulu mungkin mau. Tapi sekarang aku rasa lebih baik mengandalkan diri sendiri bukannya merepotkan orang lain. Dengan perasaan sedikit bangga aku melaju cepat seperti biasa.
Masuk gang sebelah mesjid yang selalu ramai itu, aku cepat-cepat membuka bungkusan wafel seukuran genggamanku dan mulai menemutnya kecil-kecil. Entah mengapa gang-gang yang akan aku lalui ini pasti akan banyak orang yang kukenal, jadi aku mulai merapikan sedikit baju dan posisi rambut yang bagaimanapun akan terus bergantung sedikit acak di pucuk kepalaku itu, karena sejak menguncirnya saat naik busway di karet kuningan tadi tak sedikit pun ada rasa ingin melepasnya.
Aku melirik jam dan saat itu jarum pendek dan panjang pada jam tanganku tidak jauh-jauh dari angka lima. Oke, pikirku, aku akan sedikit mempercepat langkah berhubung pasti akan banyak orang-orang sekitar jalan-jalan ini yang berada di luar rumah.
Keluar gang - masuk gang, keluar gang besar - masuk gang kecil. Akhirnya kutemukan juga sekelompok anak laki-laki seumuran 9 atau 10 tahunan, dengan sepeda kecil mereka berhenti di pinggir jalan. Sekitar 2 diantara mereka tetap berada pada sepeda mereka sambil mengamati 3 teman lainnya berjongkok pada satu sepeda yang mengapa ditidurkan mereka di pinggir dinding luar rumah. Dan entah apa yang mereka pikirkan ketika aku mulai mendekat dari kejauhan karena aku mulai merasa dua anak yang ada pada sepeda itu mulai tersipu dan tersenyum ke arahku. Agak aneh, jadi wajar kalau aku menengok ke belakangku untuk sekedar memastikan.
Pada akhirnya, anak yang berjongkok dengan keringat-keringat berkilau di wajah dan tangannya itu menengok dan berseru ketika aku ada tepat di belakangnya untuk menghindari motor yang lewat.
"Kak, bisa betulkan rantai sepada kita gak, kak?"
Bener kan,pikir aku. Something's wrong pasti ini.
"Hah?" cuma kata itu yang keluar dari mulutku. Bukan karena enggan dan gak mau berkeringatan seperti dia. Tapi memang mau dicoba sampai besok pun aku gak akan bisa melakukannya.
"Katanya dia, dia pernah liat kakak main-main sepeda kok" dia menunjuk teman yang daritadi melihatku dari kejauhan.
Senyum lebarku keluar dan entah kenapa juga aku tertawa-tawa sendiri. Dan, finally aku menunjuk bapak di warung seberang gereja yang tadi kulewati dan memang kebetulan warung yang dulu sewaktu kecil tempat kami (aku dan teman sekolahku) jajan.
Aku memutuskan untuk terus jalan dan berharap jangan menengok lagi untuk mencari tau apa yang selanjutnya terjadi. Terus berusaha membetulkan sendiri, atau membawanya ke warung kecil yang kuberitahu?
Oke, aku terus jalan dan melewati klinik sebelah rumah teman dekatku, no mention.
Tepat di seberang rumahnya berkumpul anak-anak sekolah dasar. Mereka semua perempuan dan seingatku ada tiga orang. Dari seragamnya aku tau bahwa mereka bersekolah ditempat yang sama denganku ketika SD. Oke, kali ini aku gak tahan buat tersenyum dan memperhatikannya. Karena mereka mengingatkan aku waktu kecil dulu.
Yang paing tinggi diantara mereka sedang memegang erat sebuah sapu lidi yang lumayan besar yang biasa dipakai oleh tukang sapu di sekolah. Oh No, setelah semakin dekat aku semakin yakin bahwa itu benar adalah sapunya bapak-bapak tukang sapu lapangan di sekolah. Dan mereka menggunakannya untuk menjatuhkan jambu-jambu air dari pohon diseberang rumah temanku itu. Tapi mereka masih tetap kecewa karena ternyata anak yang paling tinggi pun masih belum sampai. Otomatis kedua temannya menggerutu padanya. Dan dari yang kudengar ia justru balik mengomel pada dua temannya, "Coba aja sendiri kalau bisa".
Aku jalan pelan-pelan karena sambil memperhatikan mereka yang sedang terus berjinjit sambil terus-terusan mengomel. Akhirnya satu diantara mereka memanggilku, "Kak, bisa tolong ambilin jambunya gak kak? Kan lebih tinggi tuh".
Oh, tidak. Lagi-lagi terlibat.
Tau apa yang aku bilang spontan?
"Tangan aku lagi sakit dek, coba bilang yang punya rumah aja, minta" dan aku terus jalan sambil senyum-senyum. Aku sama sekali tidak mau mencari tau apa reaksi mereka bertiga. tapi yang pasti, lagi-lagi mereka berantem, ada yang sempat tidak sengaja kudengar, "Tuh kan apa gw bilang".
Setelah kupikir-pikir, mungkin kalau aku jadi mereka-mereka itu tidak sadar apa yang mereka lakukan. Tapi kalau sudah seperti aku, mungkin nantinya mereka akan merindukan masa-masa seperti itu juga.
Tidak jauh dari rumah temanku itu, ada sebuah lapangan terbuka. Ya, lebih tepatnya itu merupakan lapangan voli. Setiap sore aku melewatinya, dan yang aku nantikan adalah saat warga sekitar sedang bertanding, dengan sengaja aku jalan sangat pelan dan ikut menonton. Walau cuma sebentar setiap harinya tapi diam-diam ternyata aku menantikan pertandingan itu juga, hehe.
And that's a lil about my evening :)
Sedikit lesu, sedikit kesal dengan bawaan pada hari ini tapi kalau dipikir ulang ini masih belum ada apa-apanya dibanding perjuanganku yang sudah lebih dari dua tahun ini, jadi aku kembali menatap tegak dan lurus ke depan menunggu lampu rambu itu berwarna hijau. Sore itu sangat ramai dan langit kekuningan. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, kalau saja tadi pulang lebih awal, kalau saja handphone ku tidak habis baterai, dan kalau saja tadi sempat sms atau telepon papa, mungkin sudah sampai rumah.
Oke, orang-orang disekitarku sudah bersiap-siap melewati separator busway. Well, apakah menunggu beberapa detik lagi akan membuatmu rugi waktu? Apakah lampu-lampu rambu lalu lintas itu masih kurang jelas, kenapa harus terburu-buru yang merugikan orang lain juga pada akhirnya.
Dengan langkah pasti aku melintas di penyebrangan. Entah perasaanku saja atau memang semua orang lain pun begitu, ojek-ojek memanggil dengan wajah penuh harap. Ya, bapak-bapak itu berharap, aku pun berharao salah satu dari penyebrang ada yang mengambil ojek, sehingga aku tidak terlalu merasa "kasian".
Agak malu mengakui ini, tapi sesekali lewat jalan seramai cililitan dengan lalu lintas yang selalu sesak, sedikit ada keraguan masa sih dari sekian banyak orang yg lewat tidak ada yang mengenalku. Aku jadi sedikit merasa malu, lalu kalau ada yang kenal mau buat apa, del? Anter sampai rumah?. Aku jadi berpikir ulang, kalau pun memang ada orang yang sekedar kenal, apa bener mau bareng atau diantar sampai rumah supaya gak perlu repot-repot jalan? NO. Mungkin kalau keadaan memaksa ya mungkin mau, dan mungkin kalau dulu-dulu mungkin mau. Tapi sekarang aku rasa lebih baik mengandalkan diri sendiri bukannya merepotkan orang lain. Dengan perasaan sedikit bangga aku melaju cepat seperti biasa.
Masuk gang sebelah mesjid yang selalu ramai itu, aku cepat-cepat membuka bungkusan wafel seukuran genggamanku dan mulai menemutnya kecil-kecil. Entah mengapa gang-gang yang akan aku lalui ini pasti akan banyak orang yang kukenal, jadi aku mulai merapikan sedikit baju dan posisi rambut yang bagaimanapun akan terus bergantung sedikit acak di pucuk kepalaku itu, karena sejak menguncirnya saat naik busway di karet kuningan tadi tak sedikit pun ada rasa ingin melepasnya.
Aku melirik jam dan saat itu jarum pendek dan panjang pada jam tanganku tidak jauh-jauh dari angka lima. Oke, pikirku, aku akan sedikit mempercepat langkah berhubung pasti akan banyak orang-orang sekitar jalan-jalan ini yang berada di luar rumah.
Keluar gang - masuk gang, keluar gang besar - masuk gang kecil. Akhirnya kutemukan juga sekelompok anak laki-laki seumuran 9 atau 10 tahunan, dengan sepeda kecil mereka berhenti di pinggir jalan. Sekitar 2 diantara mereka tetap berada pada sepeda mereka sambil mengamati 3 teman lainnya berjongkok pada satu sepeda yang mengapa ditidurkan mereka di pinggir dinding luar rumah. Dan entah apa yang mereka pikirkan ketika aku mulai mendekat dari kejauhan karena aku mulai merasa dua anak yang ada pada sepeda itu mulai tersipu dan tersenyum ke arahku. Agak aneh, jadi wajar kalau aku menengok ke belakangku untuk sekedar memastikan.
Pada akhirnya, anak yang berjongkok dengan keringat-keringat berkilau di wajah dan tangannya itu menengok dan berseru ketika aku ada tepat di belakangnya untuk menghindari motor yang lewat.
"Kak, bisa betulkan rantai sepada kita gak, kak?"
Bener kan,pikir aku. Something's wrong pasti ini.
"Hah?" cuma kata itu yang keluar dari mulutku. Bukan karena enggan dan gak mau berkeringatan seperti dia. Tapi memang mau dicoba sampai besok pun aku gak akan bisa melakukannya.
"Katanya dia, dia pernah liat kakak main-main sepeda kok" dia menunjuk teman yang daritadi melihatku dari kejauhan.
Senyum lebarku keluar dan entah kenapa juga aku tertawa-tawa sendiri. Dan, finally aku menunjuk bapak di warung seberang gereja yang tadi kulewati dan memang kebetulan warung yang dulu sewaktu kecil tempat kami (aku dan teman sekolahku) jajan.
Aku memutuskan untuk terus jalan dan berharap jangan menengok lagi untuk mencari tau apa yang selanjutnya terjadi. Terus berusaha membetulkan sendiri, atau membawanya ke warung kecil yang kuberitahu?
Oke, aku terus jalan dan melewati klinik sebelah rumah teman dekatku, no mention.
Tepat di seberang rumahnya berkumpul anak-anak sekolah dasar. Mereka semua perempuan dan seingatku ada tiga orang. Dari seragamnya aku tau bahwa mereka bersekolah ditempat yang sama denganku ketika SD. Oke, kali ini aku gak tahan buat tersenyum dan memperhatikannya. Karena mereka mengingatkan aku waktu kecil dulu.
Yang paing tinggi diantara mereka sedang memegang erat sebuah sapu lidi yang lumayan besar yang biasa dipakai oleh tukang sapu di sekolah. Oh No, setelah semakin dekat aku semakin yakin bahwa itu benar adalah sapunya bapak-bapak tukang sapu lapangan di sekolah. Dan mereka menggunakannya untuk menjatuhkan jambu-jambu air dari pohon diseberang rumah temanku itu. Tapi mereka masih tetap kecewa karena ternyata anak yang paling tinggi pun masih belum sampai. Otomatis kedua temannya menggerutu padanya. Dan dari yang kudengar ia justru balik mengomel pada dua temannya, "Coba aja sendiri kalau bisa".
Aku jalan pelan-pelan karena sambil memperhatikan mereka yang sedang terus berjinjit sambil terus-terusan mengomel. Akhirnya satu diantara mereka memanggilku, "Kak, bisa tolong ambilin jambunya gak kak? Kan lebih tinggi tuh".
Oh, tidak. Lagi-lagi terlibat.
Tau apa yang aku bilang spontan?
"Tangan aku lagi sakit dek, coba bilang yang punya rumah aja, minta" dan aku terus jalan sambil senyum-senyum. Aku sama sekali tidak mau mencari tau apa reaksi mereka bertiga. tapi yang pasti, lagi-lagi mereka berantem, ada yang sempat tidak sengaja kudengar, "Tuh kan apa gw bilang".
Setelah kupikir-pikir, mungkin kalau aku jadi mereka-mereka itu tidak sadar apa yang mereka lakukan. Tapi kalau sudah seperti aku, mungkin nantinya mereka akan merindukan masa-masa seperti itu juga.
Tidak jauh dari rumah temanku itu, ada sebuah lapangan terbuka. Ya, lebih tepatnya itu merupakan lapangan voli. Setiap sore aku melewatinya, dan yang aku nantikan adalah saat warga sekitar sedang bertanding, dengan sengaja aku jalan sangat pelan dan ikut menonton. Walau cuma sebentar setiap harinya tapi diam-diam ternyata aku menantikan pertandingan itu juga, hehe.
And that's a lil about my evening :)